kompasiana.com |
Judul: Tilik (2018) Durasi : 32 menit Produser: Elena Rosmeisara Sutradara: Wahyu Agung Prasetyo Penghargaan: Winner Piala Maya 2018 - Film Pendek
Terpilih, Official Selection Jogja-Netpac Asian Film
Festival 2018, Official Selection World Cinema Amsterdam
2019
Selama masa pandemi, tampaknya masyarakat
yang terkungkung di dalam rumah lebih haus akan hiburan. Adanya pembatasan
nyatanya memang membatasi seluruh sektor kehidupan. Kegiatan yang semula
dilakukan secara ‘normal’ sebagai bagian dari agenda sehari-hari seolah berubah
menjadi asing. Menonton film di bioskop, misalnya, menjadi sumber hiburan
sekaligus sarana komunikasi. Film yang
berupa gambar bergerak dianggap efektif untuk menyampaikan pesan tertentu
kepada masyarakat.
Produk visual tersebut mampu
merepresentasikan suatu tokoh melalui ceritanya. Tidak heran apabila banyak
film beredar yang merupakan bentuk alih wahana dari suatu karya sastra, seperti
novel, puisi, atau cerita pendek. Cerminan kehidupan yang tersaji dalam film
menjadi daya tarik tersendiri. Realitas kehidupan digambarkan sedemikian rupa
hingga pada akhirnya akan menghadirkan perasaan tertentu bagi tiap penonton.
Ketika suatu film dianggap bagus, boleh jadi di mata penonton lain film itu
buruk. Penilaian karya seni dalam perspektif orang awam memang sangat
subjektif. Adanya kritikus film dan ajang festival pemberi penghargaan lambat
laun menjembatani pro-kontra masyarakat.
Pada era new normal ini, film Tilik
menjadi salah satu film pendek yang sukses menyita perhatian khalayak umum.
Mulanya, film yang lolos pendanaan Dinas Kebudayaan Yogyakarta itu ditayangkan
di stasiun TVRI pada tahun 2018, hingga dua tahun kemudian dapat diakses secara
gratis melalui Youtube. Selang dua minggu sejak diunggah di akun Ravacana
Films, film Tilik telah ditonton sebanyak dua puluh juta penonton.
Tentu angka puluhan juta itu sangat fantastis. Film ini pun menuai respons
positif dari beberapa sutradara kondang dan artis dari dunia perfilman, seperti
Joko Anwar dan Ernest Prakasa di Twitter.
mediaindonesia.com |
Premis yang ditawarkan film Tilik sesungguhnya
sangat sederhana. Film ini menceritakan perjalanan sekumpulan ibu-ibu dari
pedesaan yang hendak ‘menjenguk’ ibu lurah yang sedang sakit di rumah sakit.
Proses pengambilan gambar yang didominasi di atas truk juga membuat film ini
layak disebut sebagai road film. Di sepanjang perjalanan, Bu Tejo
memulai ‘diskusi’ alias gosip tentang aib seorang Dian, sang bunga desa di
tempat tinggal mereka. Di sinilah, Yu Ning sebagai lawan main yang berstatus
kerabat dari Dian mencoba membela. Baginya, sebuah berita yang belum terbukti
kebenarannya Sepanjang perjalanan, Bu Tejo mulai bergosip tentang seorang bunga
desa yang bernama Dian. Ibu-ibu yang lain merasa terprovokasi oleh Bu Tejo, namun
Yu Ning yang masih kerabat dari Dian, mencoba untuk membela karena baginya tak
cukup hanya menuduh orang melalui internet atau media sosial.
Uniknya, budaya ‘tilik’ dalam
masyarakat komunal digambarkan dengan sangat baik dalam film ini. Sesuai dengan
realitas yang ditemukan di daerah yang bukan perkotaan, segerombol warga yang
biasanya didominasi oleh rombongan ibu-ibu akan beramai-ramai menyewa kendaraan untuk sebuah
hajat. Entah itu untuk mengunjungi pernikahan tetangga, ziarah atau takziah,
dan tentu saja tradisi ‘tilik’. Mereka pun akan membawa buah tangan
sebagai bentuk penghargaan atau oleh-oleh. Sikap ini menjadi representasi
kepedulian masyarakat pedesaan yang masih dipupuk dan dikembangkan. Walaupun
cuaca panas dan jarak jauh, hal itu bukan perkara besar karena titik fokusnya
adalah membantu mereka yang terkena musibah.
theconversation.com |
Sesungguhnya, hal yang harus disorot
adalah perihal berita hoax dalam film Tilik karena itulah titik
beratnya. Maraknya berita yang tidak valid dengan pergerakan yang amat masif di
internet menjadi topik utama. Sikap Bu Tejo yang pandai menggiring opini
berbekal informasi yang belum jelas dari internet dan respons ibu-ibu lain
adalah gambaran subtil manusia-manusia di dunia nyata. Karakter manusia kadang
bisa mereferesikan Bu Tejo, Yu Ning, atau yang lain. Maka tidak mengeherankan
apabila banyak kutipan di media sosial yang menyebutkan bahwa, “Bu Tejo
adalah kita semua.”
Lantas, adakah kekurangan film Tilik yang
terlanjur jadi primadona dan mengguncang bahkan seluruh Indonesia? Diantara
arus meme sampai kajian analisis akademik yang mendalam tentang film
ini, merupakan hal wajar apabila terdapat perbedaan pendapat. Opini tentang ending
yang kurang memuaskan karena dianggap ‘mengkhianati’ premis awal film,
penggambaran stereotip wanita yang hanya pandai bergosip—bahkan disebut seperti
‘sapi’ karena naik di atas bak truk, potret aparatur negara yang kurang tegas (menjadi pro-kontra, sebagian menganggap ini sebagai kritik sosial, sebagian tidak terima),
dan banyak kekosongan lain yang barangkali butuh ditambal.
Terlepas dari stereotip ‘jelek’ mengenai
ibu-ibu karena fokusnya pada gosip, film ini patut diapresiasi karena
menggunakan wanita sebagai pemeran utama. Judul alternatif untuk film ‘Tilik’
yang diputar di luar negeri pun bertajuk ‘Ladies on Top’. Meskipun
diproduksi tahun 2017, film ini seolah mendahului, namun juga menguatkan
nilai-nilai budaya feminisme dan patriarki yang baru bergaung selama satu-dua tahun ke belakang.
Secara tidak langsung, film Tilik memang
berhasil menjadi refleksi meskipun masih menuai kontroversi. Penilaian positif
atau negatif terhadap tiap unsurnya bergantung kacamata mana yang hendak
dipakai untuk melihat. Pada akhirnya, penilaian akan karya seni akan kembali
kepada penikmatnya. Setidaknya, kehadiran film ‘Tilik’ telah menjadi
hiburan segar di tengah carut-marut pandemi, melebarkan gerbang bagi
pertumbuhan film pendek di Indonesia, juga memberi harapan bagi para sineas serta
seniman lokal bahwa karya yang tulus akan sampai di hati para penikmatnya.
No comments:
Post a Comment
Just write your thoughts.