Hubungan Internasional,
Sastra Inggris,
Ilmu Komunikasi,
Ilmu Ekonomi,
…
dan aku bukanlah mahasiswi pada
salah satu prodi tersebut. Tapi, aku salah satu dari mereka yang pernah memperjuangkannya. Seperti ribuan remaja di luar sana.
Apakah gagal? Bisa ya, bisa juga
tidak.
Kalau kamu berekspektasi tentang
kisah keberhasilan mendapatkan jurusan di perguruan tinggi sesuai keinginan,
mungkin ceritaku tidak begitu memuaskan untukmu.
Mungkin, bagimu, kisah yang akan
kuceritakan adalah kisah kegagalan. Tentu saja karena aku tidak berhasil
mendapatkan apa yang aku impikan. Yang tempatnya pernah aku kunjungi, lalu
foto-fotonya aku tempel di tembok kamar dan buku-buku pembelajaran. Yang aku
sebut dalam tiap doa panjangku. Yang rasanya, aku sudah berjuang mati matian
untuk meraihnya—orang-orang menyebutnya, ambis.
Namun, kisah ini boleh jadi
cerita tentang keberhasilan. Aku serahkan padamu untuk melihat dari sudut
pandang yang mana. Sebab, nyatanya semesta tetap bilang iya, meskipun yang lain.
yang dulu kupajang di halaman depan binderku |
Well, aku anak IPA. Seperti judul postingan ini. Kamu
mungkin akan menebak, lahan yang biasanya ‘direbut’ oleh anak-anak sepertiku
adalah Fakultas Ekonomi.
“Kamu kan jago ngitung.”
“Kamu lebih teliti.”
“Kamu pinter Matematika.”
Begitu katanya. Padahal, tidak. Tidak semua. Lagipula,
kemampuan menghitung dan ketelitian seharusnya universal, bukan?
Sedikit cerita, kelas MIPA 1-MIPA
3 di sekolahku mendapat pelajaran lintas minat Geografi, sedangkan kelas MIPA -MIPA
7 mendapat pelajaran Ekonomi. FYI,
aku alumni kelas MIPA 3. Tidak pernah bersinggungan dengan kurva utilitas
marginal, biaya produksi, ataupun sekadar mengetahui persamaan akuntansi. Kami
berkutat dengan batuan, cuaca, sumber daya alam, dan sebagainya.
Jadi, aku bukan salah satu dari
mereka yang ambisius menduduki salah satu bangku di Fakultas Ekonomi. Pada
awalnya. Setiap orang bisa berubah bukan? Seperti diriku di pertengahan kelas
11. Ketika pelajaran Matematika Peminatan, Biologi, Fisika, dan Kimia menjadi
momok menakutkan bagiku. Seolah hari-hariku di sekolah jadi horror kalau ada
salah satu dari pelajaran itu. Padahal memang begitu….
Dan ya, aku jadi kurang bahagia
dalam menjalankan sekolahku. Semangatku kian hari kian menurun, aku jadi
berpikir bahwa pencapaian akademikku sudah tidak penting lagi. Yang penting,
aku bisa melewati ulangan harian serta ulangan ulangan lainnya dengan baik.
Satu lagi, jangan sampai menjadi 10 besar terbawah ranking di kelas. Selain mempermalukan
diri sendiri, tentu saja aku tidak ingin membuat orangtuaku bersedih. Yah,
meskipun orangtuaku tidak terlalu menjadikan ranking sebagai tolok ukur. Mereka
paham bahwa pendidikan penting, namun tidak pernah menuntutku untuk menjadi
juara satu.
Tapi jangan salah, saat kelas 10,
aku masuk 10 besar ranking di kelas. Waktu itu aku masih menikmati peranku
menjadi ‘anak IPA’ dan percaya bahwa bisa saja SNMPTN adalah takdirku, kalau
bisa dapat jurusan di rumpun Soshum seperti cerita orang-orang. Kelas 10?
Seambisius itu? Tidak sih, aku hanya mengakses informasi terlalu banyak ketika SMP.
Terlalu banyak bermimpi yang kalau sekarang, aku bisa bilang…kejauhan.
Jujur saja, waktu itu aku masih
menganggap jurusan IPA di SMA adalah jurusan yang bergengsi, keren, tempatnya
orang-orang cerdas. Walaupun jauh dalam lubuk hatiku, sejak SMP aku ingin masuk
kelas IPS, bahkan kalau bisa Bahasa. Alasan terkuatnya adalah, aku benci
Matematika dan orang IPA hendaknya
bisa menguasai Matematika. Selain, aku merasa lebih mudah belajar bahasa asing
dan lebih senang mempelajari fenomena sosial.
Duduk di kelas 9, aku sudah
membuat semacam life plan untuk
beberapa tahun ke depan. Aku masih ingat, di sana aku menulis:
Hubungan Internasional
Sastra Inggris
Sastra Indonesia
Antropologi
Wah, memang gila. Ketika teman
temanku yang lain sibuk mendebatkan frekuensi garpu tala untuk UN IPA SMP, bisa-bisanya
aku mengajak mereka ngobrol tentang Antropologi (dan logi-logi yang lain, Arkeologi
misalnya). Lalu mereka cuma mengangguk sekenanya, aku tahu mereka belum begitu
tertarik pada pembicaraan jurusan kuliah waktu itu.
Makanya, teman teman SMP-ku itu
agak terkejut dan heran ketika mengetahui aku masuk di kelas IPA.
“Katanya mau masuk HI? Kok malah
masuk IPA sih?”
“Katanya Sasing, eh apa Sasindo?”
“Bukannya yang namanya susah itu
ya? Yang ada logi-loginya tapi bukan Biologi.”
Begitu katanya. Dan bisa-bisanya aku dengan
jumawa berkata,
“Anak IPA kan bisa ke mana-mana.
Gampanglah, nanti tinggal lintas jurusan ke Soshum.”
Dengan gampangnya, aku mengatakan
gampang. Dulu.
Sampai akhirnya, di pertengahan
kelas 11 dimana otakku seperti tidak bisa lagi memahami logaritma dan turunan-turunannya,
aku membuat keputusan. Mengabarkan pada kawan-kawan sekelasku, mencari teman.
Siapa tahu ada yang tersesat juga sepertiku.
Adakah yang tersesat?
Tentu saja ada. Konsisten, ada 4
orang termasuk aku. Sampai kini kami resmi menjadi mahasiswa. Kami berempat
itulah yang saling berbagi informasi, juga mimpi. Dua dari kami termasuk anak
IPA linjur golongan mainstream, ingin
merebut lahan di Fakultas Ekonomi khususnya Akuntansi. Satunya lagi suka corat-coret
di sketchbook, ingin ke jurusan seni
yang nggak seni-seni banget tapi pokoknya seni, sampai dibela-belain datang ke open house-nya di Jalan Ganesha 10 itu,
berjarak 400 km dari kota kami.
halo, apa kabar almamaternya abang-abang Eduka? :) |
rindu. |
Lalu bagaimana denganku? Apakah
masih sama seperti saat SMP dulu?
Ah, setelah berbagai dinamika
dalam dua tahun SMA, di awal kelas 12 aku sudah mantap dengan jurusan yang aku
tuju.
Hubungan Internasional.
law of attraction-ku |
Tidak kok, aku
tidak ingin jadi diplomat. Aku sudah tahu kalau itu berat.
Pokoknya HI, kalau bisa di UGM.
Bukan karena UGM adalah kampus favorit blablabla, tapi karena jarak rumahku ke
UGM tidak sampai 10 km.
Kalau tidak bisa HI, apa pilihan
keduanya? Aku tidak punya…. Yang aku mau setara dengan HI semua, sebut saja
Sastra Inggris dan Ilmu Komunikasi, sempat terpikir Psikologi tapi hanya
bertahan sebentar saja.
Waktu itu aku hanya ingin UGM.
Impian masa kecilku. Tempat orang-orang yang jadi panutanku mengenyam ilmu.
Yang selalu kuucapkan salam pada nabiku setiap melewatinya. Banyak yang hebat
di sana. Aku hanya ingin menjadi salah satu bagiannya.
Maka, pilihan keduaku waktu itu,
hanya kusebut, “Pokoknya di FIB.” Semua anak SMA juga tahu kalau jurusan
jurusan di sana, kecuali Sastra Inggris dan Pariwisata, biasanya akan masuk di
laman-laman web dengan judul “Jurusan Sepi Peminat di UGM Yang Bisa Jadi
Pilihanmu”. Padahal aku ingin ke FIB
bukan cuma karena sepi peminatnya, tapi juga karena aku suka bagian sastra dan
Antropologinya. Impian masa putih biruku.
“Kamu pasti bisa dapet HI, Lif.”
“Belajarmu udah segitu kok.”
“TO-mu selalu jauh di atasku.”
“Rehat lif, udah dulu ambisnya.”
Kalimat kalimat itu. Menenangkan
tapi mematikan.
Sampai tiba waktunya.
“Gimana UTBK 1-nya?”
Dan aku cuma bisa menanggapinya
dengan tersenyum kecut.
Ah, UTBK. Sesuatu yang baru,
bukan cuma untuk angkatanku saja. Kami mencari informasi sana-sini, sampai
kadang lupa menyaring mana yang betulan mana yang bohongan. Kami terlalu
antusias, juga takut. Yang seangkatan denganku takut ditolak pertama kali. Yang
angkatan di atasku takut gagal lagi. Apalagi ini kelihatannya sangat berbeda
dari yang sebelumnya.
Ya sistemnya, soalnya, penilaiannya,
dll. Yang jadi highlight-nya, semua
berbasis komputer. Tidak ada lagi membulati LJK dengan pensil 2B yang harus
lolos scan komputer.
Aku ingat pada euforia menjelang UTBK itu, TO online tiba tiba menjamur. Dulu, event
TO online cuma bisa dihitung jari—toh peminatnya juga tidak banyak
meskipun tahun lalu sudah ada SBMPTN yang memakai android, sementara di
tahunku…kamu tinggal pilih mau yang mana. Yang bayar banyak, yang gratis
apalagi. Paling paling syaratnya hanya mengunggah twibbon dan membagikannya di Instagram. Sama sekali praktis dan
efektif.
Salah satu nama yang bagiku—pasti
bagimu juga—termasuk unicorn education
startup di Instagram adalah Eduka System. Dari pagi sampai pagi
lagi, Story dan timeline di Instagramku penuh dengan tangkapan layar TO online dari Eduka itu. Awalnya aku
sangsi dan menganggap itu sebagai spam. Bayangkan saja, hampir seluruh teman
seangkatanku mengikuti akun itu dan tidak sedikit dari mereka yang rela merogoh
kocek untuk ikut TO online nya.
yaa...'cuma' 100-an temen sih :)) |
Justru Twitter-lah yang pertama
kali menarik simpatiku dengan Eduka. Dari akun education confess, mereka bilang kalau model soal di Eduka mirip sekali
dengan soal UTBK. Sudah paham mengenai istilah no pict hoax, di sana mereka juga menyertakan bukti tangkapan layar
dari website TO online Eduka itu.
Kutelusuri dengan cermat, kubaca review-review-nya,
hingga akhirnya aku memilih untuk membuktikannya sendiri.
Bagai gayung bersambut, Eduka
juga menyelenggarakan TO online yang
gratis ketika aku akan menge-stalk
akunnya. Lagi-lagi aku sedikit ragu, apakah TO
Eduka ini akan menganggu jadwal belajarku? UTBK 2 sebentar lagi, materi masih
harus diperdalami, latihan soal apalagi. Sementara, mengerjakan TO tidak cukup 1-2 jam.
Sudah terlanjur penasaran,
akhirnya aku ikut juga. Mengunggah syarat yang diperlukan dan voila, laman yang didominasi warna
coklat itu menampilkan laman yang…it’s
not 100% look alike, cause they don’t duplicate it. Tapi betulan mirip,
bukan hanya tampilan webnya, tapi yang lebih penting: soal-soalnya. Lebih
kerennya lagi—dan langsung membuatku berkata, “Okay, it is the one.”—ada fitur ranking, pembobotan nilai, dan
pembahasan, yang jelas dibutuhkan semua pejuang UTBK di Indonesia. Yang paling
penting, kita nggak bakal bingung dalam melakukan semua itu karena Eduka pun sudah
menyediakan tutorialnya. Bahkan kita bisa lihat posisi
kita di prodi dan universitas impian. Kita bisa lihat saingan-saingan kita!
ini tampilan yang lumayan mirip sama waktu UTBK |
nilainya sengaja disensor hehehe |
ada pembobotan nilai, alias IRT=sistem penilaian UTBK |
selengkap itu juga pemeringkatannya.... |
Sejak saat itupun aku langsung
merasa berdosa sudah menilai Eduka tanpa merasakan manfaatnya terlebih dahulu,
dan tentu saja, AKU MERASA SANGAT TELAT MENGENAL EDUKA!
Apalagi setelah mendapati beberapa temanku
dengan nilai UTBK 600++ dan kata mereka, “Aku cume belajar lewat Eduka.” Like, seriously?!?
Padahal, harga TO Eduka nggak mahal. Padahal, waktu
yang disisihkan untuk TO, apapun itu,
pasti akan menghasilkan sesuatu yang baik juga ke depannya. Padahal, padahal….
Sebelum menyesal lebih dalam, aku
semakin giat mempelajari pembahasan dari Eduka karena rankingku juga belum
bagus-bagus amat. Waktu itu ada passing
grade-nya juga, aku masih kurang beberapa poin untuk mencapai HI UGM [tentu
saja bukan PG resmi dari universitas karena yang buat biasanya cuma
bimbel-bimbel]. Apalagi UTBK 2 tinggal menghitung hari dan masih ada beberapa
materi Ekonomi yang belum selesai dipelajari [percayalah, linjur memang, hmm,
seberat itu, apalagi aku tidak suka Matematika, sementara Ekonomi berhubungan
dengan yang satu itu—tapi pada akhirnya aku jadi suka!].
Lalu, kalau nilai UTBK 1 masih
jauh dari harapan,
“Bagaimana dengan UTBK 2?”
Ah, kali ini aku bisa menarik napas lega. Semua
nilaiku naik, terutama Ekonomi. Di UTBK 1, Ekonomiku jadi yang terendah karena
pada waktu itu aku memang baru mempelajari sedikit. Makanya, aku balas dendam
khusus untuk Ekonomi di UTBK 2. Selain dari Eduka, aku juga menghabiskan hampir
semua soal SIMAK UI Ekonomi dari Zenius.
Waktu itu, aku benar-benar menghayati
apa yang disebut “hasil tak akan mengkhianati usaha”. Rerata nilaiku 600+.
Ekonomi 78x. Matematika Soshum yang…mungkin yang benar benar aku kerjakan hanya
1 soal…600+.
Tapi, aku tahu.
Dengan nilai segitu aku nggak
bisa masuk HI.
Tanpa orang-orang bilang bahwa
‘nilai aman’ HI UGM adalah 700+, aku sudah bisa membaca peluangku dari hasil
rekapitulasi yang dikeluarkan LTMPT. Yang nilainya sepertiku itu banyak…yang
menginginkan HI UGM dan nilainya lebih tinggi dariku juga banyak….
SBMPTN tahun ini memang se-transparan
itu, orang-orang jadi tahu diri dalam memilih jurusan dan perguruan tinggi.
Apalagi dengan adanya jasa rasionalisasi, di mana mana. Lagi-lagi, dari yang
gratis sampai yang berbayar. Yang buka jasa konsultasi seolah dia panitia
LTMPT, yang sampai dibikin akun parodi, yang akhirnya aku menemukan Eduka lagi.
santuy, ini parodinya :)) |
ini yang Eduka |
suka sedih baca kesimpulannya :" PS: tangkapan layar rasionalisasi Eduka ini dari hpnya temenku, shout out to Cindy! |
Kali ini, rasionalisasi Eduka.
Sudah tidak ada kata ragu lagi untuk ikut. Aku sudah membuktikan sendiri di
TO-nya meskipun hanya sekali. Apalagi, Eduka mengunggah beberapa video di
Youtube yang semakin meyakinkanku. Setelah mengunggah syarat seperti biasa, aku
dihadapkan laman untuk memilih jurusan.
“Apakah HI di matamu juga menang
gengsi seperti saat kamu masuk IPA di SMA?”
Tanya jawab dengan diriku
sendiri, membicarakannya dengan orangtua meskipun yaa, kadang harus ada sedikit
air mata, lalu berdoa. Sudah mantap. HI mungkin bukan gengsi, tapi terlalu
bergengsi, hahaha…. Secepat itu idealisku meluntur. Manusia memang cepat sadar
ya, kalau ditampar kenyataan?
Pada akhirnya, aku memutuskan
untuk memasukkan jurusan yang sama saat rasionalisasi Eduka dan SBMPTN, nekat tapi rasional, rasional tapi nekat. Kenapa? Karena aku sudah yakin [bekal yakin untuk pilihan 1: nilai Ekonomiku—betulan nekat kalau ini] dan posisiku
memang aman [di pilihan keduaku, rasional]. Keduanya UGM.
“Jadi HI, Lif?”
Nggaklah,
bambang.
Keputusanku sudah bulat kala itu.
Di SBMPTN aku memilih membuang mimpiku:
HI UGM; bagaimanapun juga aku sudah berjuang untuk nilai UTBK ku, berapapun
itu. Perjuangan belajar lintas jurusan hanya
dengan bimbingan belajar online, TO-TO mandiri-offline-online, menyeimbangkan waktu antara belajar Saintek [untuk
di kelas, dan tentu saja UN] dan Soshum, tetap terjaga dari pagi sampai pagi
lagi, mengontrol diri sendiri, belajar manajemen waktu, serta berbagai
pelajaran lainnya yang mungkin tidak akan kudapatkan secara formal di sekolah.
Baru di Ujian Tulis UGM, aku
mengerahkan seluruh kemampuanku. Aku memilih HI di pilihan pertama, sesuai
impianku. Aku akan lebih giat belajar. Kebetulan, Eduka juga sedang mengadakan
promo untuk beberapa TO dengan harga miring. Aku boleh saja gagal di SBMPTN,
tapi tidak akan kubiarkan UTUL UGM yang legendaris itu menolakku.
UTUL yang kembali jadi penampung harapan.... |
Ritme belajarku kembali terulang.
Menjadi kelelawar. Membabat habis soal SIMAK UI yang belum sempat diselesaikan
dari sore hingga tengah malam menjelang pagi. Pagi dan siangnya aku gunakan
untuk istirahat. Aku juga membaca ulang materi-materi yang aku sudah agak lupa.
Jarak antara pengumuman nilai UTBK 2 gelombang terakhir dengan pendaftarannya
cukup lama, aku tidak banyak menghabiskan waktu untuk belajar saat itu.
Semua kujalani dengan lebih
santai. Meskipun lebih ke pesimis, aku juga menyimpan sedikit harapan untuk
lolos SBMPTN. Masa sih, usahaku yang sudah sebegitunya tidak bernilai apa-apa?
Iya, aku paham kok ada banyak sekali jalur masuk perguruan tinggi. Tapi ini
SBMPTN lho, yang sudah aku perjuangkan bahkan ketika kelas 11. Tapi, ya
sudahlah. Aku berada di titik kepasrahanku.
Yang aku percaya, jawaban doa
tidak pernah tidak.
1.
Iya, Sayang.
2.
Iya, yang
lain.
3.
Iya, nanti.
**
Hingga tanggal 9 Juli itu tiba
juga.
Setelah salat Ashar, ibuku sudah
heboh menyuruhku untuk segera membuka pengumuman. Ibu bahkan menyangka aku
sudah mengetahui hasilnya karena sejak pagi aku tenang tenang saja. Aku lalu berkata
bahwa semalam aku sudah mendengar video-video Cak Nun tentang keikhlasan,
makanya aku jadi tenang. Katanya, Tuhan
akan berkata iya kalau kita sudah ikhlas pada yang tidak itu.
Maka dari itu, ketika aku menunggu laman
pengumuman sedang memuat, aku sama sekali tida deg-deg-an. Teman-teman
bercerita padaku kalau mereka bahkan sudah berdebar sejak semalam. Aku? Bahkan
ketika akhirnya pengumuman itu muncul, detak jantungku masih normal seperti
biasa.
Sambil tengkurap di kasur kamar,
aku menggulir laman perlahan.
Selamat!
Universitas Gadjah Mada
Iya, aku memasukkan di UGM semua.
Tidak ada air mata bahagia
kecuali dari ibu yang langsung memelukku. Aku senang…tapi, ya senang saja.
Beban berat yang lama dipikul terasa hilang, tapi…hampa. Entahlah, mungkin aku yang
waktu itu kurang bersyukur. Keluargaku lebih heboh menanggapi kelulusanku.
Aku menangis sehari setelahnya.
Ketika menyadari bahwa mimpiku di HI benar-benar terbuang. Aku tidak berniat
mengambil gapyear setelah berdiskusi
dengan orangtua atau merantau ke luar Jogja (lihat kan, foto pertama? Aku
sempat bucin UI dan ITB, sudah
berencana mengikuti SIMAK UI dan USM ITB, namun orangtuaku lebih senang kalau
aku tetap di Jogja.)
Bahwa ketika sudah diterima di
UGM melalui satu jalur, maka tidak akan diterima di jalur lainnya. Aku sudah
lolos SBMPTN, maka UTUL-ku hangus. Aku tidak boleh serakah. Aku boleh
sedih…tapi, yang lebih sedih dariku pasti lebih banyak. Yang menginginkan
posisiku? Pasti ada walaupun tidak pasti jumlahnya berapa.
Sungguh, awalnya sulit untuk
menerima kenyataan diterima di pilihan kedua. Aku suka sastra, tidak mungkin aku mengambil itu sebagai pilihanku kalau hanya untuk coba-coba...tapi, tapi.... Mungkin kamu pernah merasakannya.
Apalagi ketika teman seangkatan beda kelas yang juga linjur diterima di Hukum
UGM dengan selisih rerata nilai yang tidak jauh. Setelah mendengar bahwa, “coba
kalau kamu lebih nekat sedikit.” Ucapan-ucapan tentang strategi jurusan. Yang
kalau didengarkan semakin membawa diri dalam penyesalan.
Sampai akhirnya, orang orang
datang padaku.
Mengucapkan selamat.
Teman SMP: Kamu emang cocok banget di Sastra
Indonesia. Pas SMP seneng nulis kan. Selamat ya, akhirnya impianmu tercapai.
Aku tunggu novelmu.
Saat itu aku bahkan sudah lupa
bahwa itu adalah impianku.
Teman blog saat SD:
Dia mungkin tidak tahu, aku tidak sekonsisten itu.... |
temen sekelasku, jangan tanya kenapa aku menyebutnya senja kopi puisi :)) |
Guru SD: Mbak Alif memang sudah terlihat
bakat menulisnya sejak SD. Senang mendengar kabar kalau akhirnya diterima di
Sastra Indonesia UGM. Terus berkarya ya, Mbak.
Kali ini aku menangis.
Anak Sastra. Apakah yang ini jalannya?
Kadang aku merasa sebutan itu
terlalu berat untuk disematkan padaku. Aku sengaja tidak menceritakan di bagian
awal kalau aku senang membaca dan menulis sejak SD, bahkan Bahasa Indonesia
selalu jadi pelajaran favoritku. Pernah mengikuti beberapa lomba kepenulisan. Pernah
beberapa kali dimuat di majalah. Kalau majalah sekolah memang selalu ikut jadi tim
redaksi di SMA, namanya jurnalistik. Di jurnalistik SMA itu juga pernah
kerjasama dengan koran lokal. Ada buku antologi puisi dan cerpen, tapi cuma diterbitkan
tingkat sekolah. Yang terakhir sih, ikut meliput untuk tabloid di Dikpora.
tim jurnalistik bersandingan dengan mimpi-mimpiku lol |
Tulisan ini juga nggak
bagus-bagus amat. Jadi, maklumi saja ya? Toh, rasanya belum pantas saja
menyandang status sebagai mahasiswa sastra karena kuliah pun belum dimulai. : )
Aku tak hendak memberi pesan
untuk kamu, karena aku sadar diri, aku ini siapa sih diantara jagat pejuang
SBMPTN yang berhasil? Sudah jurusan underrated
pula di mata banyak orang. Kalau mencari kisah-kisah yang berhasil, mungkin yang ada di blog Eduka ini bisa menjadi salah satu pilihanmu. Kisah-kisah yang sekarang...hmm, rasanya aku sudah kenyang membaca motivasi-motivasi itu.
Aku cuma mau pesen sama diriku sendiri, siapa tahu besok lupa.
Aku cuma mau pesen sama diriku sendiri, siapa tahu besok lupa.
Dear
Alif,
Gagal
atau tidak tergantung bagaimana pola pikirmu tentang kegagalan. Kamu sudah
menang, melawan dirimu sendiri. Siapa tahu memang jalanmu di sini?
Terima
kasih ya, sudah berjuang.
Terima
kasih sudah bertahan sampai sejauh ini.
Kamu yang sudah membaca sampai
sejauh ini, aku ucapkan terima kasih banyak juga padamu. Semoga harimu baik. Kalau
sedang berjuang, semoga kamu dapat yang terbaik, di waktu yang paling baik pula.
Kamu dan perjuanganmu tidak pernah sia-sia! <3
Satu lagi, yang terakhir.
ya, libatkan Tuhan di seluruh kehidupanmu. aku tidak perlu menyuruh kalian yang muslim untuk melaksanakan yang wajib tepat waktu dan menambah yang sunnah setelahnya, bukan? |
kamu pasti paham apa artinya |
- tulisannya panjang karena sedang ingin menyembuhkan diri sendiri
- beberapa direct link mengarah ke tumblr-ku, siapa tahu kamu berminat membaca
- videonya bagus, kalau ada waktu luang silakan diputar, mungkin bisa menambah sudut pandangmu tentang kegagalan
- mau ngucapin terima kasih sekali lagi sama Eduka, rasionalisasinya memang akurat. Bukan cuma di aku, tapi juga teman-temanku, bahkan kakak kelasku yang mengambil gap year. Doa dan harapan terbaik untuk semua orang dibalik besarnya nama Eduka!
- doakan aku bisa survived ya....
- doakan aku bisa survived ya....
hey hey haiii. sudah lama aku nggak ketemu kamu kan kaklif (secara maya maksudnya). sebenernya sudah lama aku lihat postingan ini mentereng di daftar bacaan beranda blogger-ku. tapi aku enggak berani buka karena aku tipe-tipe pelajar tahun terakhir yang alergi dengan kenyataan karena tau betul akan berakhir pahit. tapi karena besok senin bakal ada pembagian angket peminatan UAN, aku langsung merinding disko dan segera membuka postingan kakak wkwk--berharap, bisa ambil refrensi.
ReplyDeletesebelumnya, selamat ya! akhirnya jadi mahasiswi UGM! pasti udah nggak ndredeg ya sekarang, berbanding terbalik denganku yang jadi ndredeg seratus persen selesai baca postinganmu. well, kakak pasti sibuk sekarang yeah. aku nggak berharap banyak kalau kakak bakal reply komentarku ini ASAP.
tapi suer kak, i need 'pencerahan'. aku salah satu siswa yang masuk IPA, karena mindset 'ah, anak IPA bisa melipir kemana-mana'. padahal aku benci kimia sedalam-dalamnya. sejak aku kelas 11. aku nggak menggantungkan mimpi kemana-mana. aku bahkan menyerah pada snmptn dan mulai memikirkan sbmptn. mimpiku ke DKV ISI, kuhanguskan. biarlah aku masuk ke pertanian UB, biar aku nggak usah belajar 'urusan' orang nanti buat UTBK-nya. tapi aku takutt banget, aku bakal nggak cocok disana, karena dari dulu aku paling alergi sama hal-hal yang berbau 'tanaman'. mereka biasanya suka mati kalau kusentuh, mana bisa aku nanti membantu petani menyuburkan komoditi mereka kalau begini :(
dalam hati, memilih sastra inggris pasti jauh lebih gampang. soalnya aku paling enteng kalau soal yang satu itu. hanya saja kata orang-orang kalau mau ambil sastra inggris UTBK-nya harus pakai punya anak jurusan sebelah. aku jadi bingung setengah mati.
nah, karena kakak adalah anak IPA yang melipir ke SASINDO, aku mau tanya. kakak UTBK-nya pakai jurusan anak sebelah, kah? terus, UN kakak milih apa?
padahal cuma mau nanya itu tapi curhatnya sampai tiga paragraf hehe. thanks ya kak atas pengalamanya :)
Halo Dza!
DeleteKebetulan banget aku buka blog jadi bisa balas ASAP hehe. Btw, selamat menjadi siswa tingkat akhir ya! Kalau mau curhat boleh lho dm aku ntar biar bisa disambung ke WA, karena dulu waktu galau jurusan kelas 12 aku juga banyak curhat sama kakel yg kurasa paham masalahku karena sama-sama lintas jurusan :)
Jadi, menjawab pertanyaanmu:
1) Aku UTBK-nya tentu saja pakai jurusan anak sebelah karena dari awal sudah kujelaskan kan, kalau aku lintas dari IPA a.k.a. Saintek ke IPS a.k.a. Soshum?
2) Aku memilih Biologi di UN, yah u know yang paling sedikit Matematika-nya, lol. Supaya bisa lebih gampang survive awalnya, padahal mah sama aja semua butuh diperjuangkan. :)
Btw aku kemarin juga mau daftar Sasing lho, tapi keburu nekat ke Ilmu Ekonomi gara-gara kepedean dengan nilai Eko yang tinggi padahal nggak terlalu ngaruh sepertinya wkwkwk.
Terima kasih kembali ya, sudah mengapresiasi tulisanku, semoga sukses di kelas 12-nya!!
Saya setuju pendapatmu, tuhan pasti akan selalu jawab "ya" setiap doa.
ReplyDeleteDan kamu berhasil membuktikannya dengan mndpt jawaban "Ya, tapi ini lebih pantas dan lebih baik bagimu. " . Btw selamat, Lif. Salam kenal.
Halo, terima kasih sudah juga sudah membaca. :)
DeleteHehe emang rencanaNya pasti lebih baik. Salam kenal juga ya, Imra!
Selamat atas perjuangan linjur mu lif, bahagia menjadi salah satu manusia yg menyaksikan kerja kerasmu, sejarah pengalamannu menjadi siswa tingkat akhir memang layak untuk contoh bagi siswa" tersesat di persimpangan jurusan SMA :v, semangat menikmati kopi senja bersama lagu lagu indie �� salam dari kota dingin selain bandung wkwkw, goodluck and see you next time.
ReplyDeleteWKWKW tengs :v
Deletesaya tetep belum layak dijadikan contoh, masih harus banyak belajar :v selamat menyinari tubuh manusia dengan sinar X :v
see youu
kak, aku linjur 2020, butuh temen ngomong, akun ig kaka apa?
ReplyDeleteHalo, ada di widget dan menu bar ya hehehe.
Deletesebenernya aku udah baca ini dari lama, tapi, baru gak tau baru mau ninggalin komentar sekarang karena baca lagi hehe. ternyata, kita sama-sama pejuang linjur kak. alhamdulillah aku angkatan 2020 udah keterima juga sekarang. baca tulisan kakak ini bener-bener terharu dan seneng karena kakak bisa punya cerita perjuangan yang luar biasa itu. pasti nggak mudah :)
ReplyDeletekalo aku baca, kakak dapet PTN yang kakak impikan sejak lama, tapi, bukan jurusannya. nah, kalo aku sebaliknya, justru malah dapet jurusan yang aku impikan, tapi, PTN nya iseng aja masukin, gak taunya keterima, bener-bener di luar dugaanku hahah.
mau cerita juga sih, aku masuk kuota SNM kemarin. sebagai pejuang linjur, jujur gatau mau tetep bundir atau milih jurusan saintek. akhirnya, aku memutuskan untuk bundir aja seenggaknya udah nyoba wkwk. aslinya, pengen banget masukin UGM, kak, kayak udah impian dari dulu, dari kecil, tapi, aku terlalu takut karena track sekolahku yang gak memungkinkan dan emang semakin bundir kalo masukin UGM. yah, bukan sekolah favorit kota jogja, sih, cuma depan gacoan WKWKWK (mungkin kakak tau:D ) so, finally here i am. nggak pernah menduga keterima SNMPTN padahal linjur:)) alhamdulillah udah keterima di Manajemen UNY sekarang.
sukses kuliahnya ya, kak! terus menginpirasi<3
Haloo Muti, selamat dan semangat jadi mahasiswa baru ya!
DeleteAku ikut senang baca kisahmu. Jadi pengingat lagi juga buatku kalau kita emang nggak pernah sendirian dalam berjuang, salah satunya berjuang linjur WKWKW. Alhamdulillah ya, walau kita sesama nggak dapet "yang-itu-pokoknya" tetapi semoga yang kita dapat sekarang adalah yang palinggg terbaik, aamiin. Seni menerima itu ternyata belajarnya seumur hidup :D
Terima kasih sudah baca ceritaku ini dan aku doakan yang terbaik juga buatmu! Sukses PKKMB, KRS-an, dll. hehehe xoxo.
Hai, tak terasa satu tahun telah berlalu tanpa kita sadari. Menyadarkan kita bahwa waktu berlalu begitu cepat. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyelebrasikan hari kemenanganmu melawan egomu dan mengikhlaskan hal yang lalu demi yang baru. Kita tidak pernah tahu kemana Yang Maha Esa akan menggiring kita, karena hidup tidak ada yang tahu kecuali Dia. Have a nice day.
ReplyDeleteHalo, siapapun kamu terima kasih ya atas apresiasinya. Mari kita selebrasikan bersama kalau kamu juga mengalami yang seperti ini juga. Semoga kita sama-sama bisa selalu menerima.
DeleteHave a nice day too. :)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteHalo kak, aku beneran terinspirasi sama tulisan kakak, kalau boleh tau ig kakak apa ya?
ReplyDeleteHalooo, ada di samping kanan postingan ini nih, di sidebar: icon Instagram :)
DeleteHai kak, aku juga anak IPA skrng kelas 12 niatnya mau linjur soshum, ambil PBSI ... Kak aku mau minta tips belajar TKA soshum nya :) soalnya aku masih bingung banget mau mulai darimana, tahun depan juga gatau TPS aja atau TPS dan TKA .. makasih semoga dibales 😊
ReplyDeleteHai Tara, terima kasih ya sudah membaca!
DeleteJujur aku sudah nggak banyak mengikuti info-info UTBK, tapi saranku kamu bisa sering-sering latihan soal, dari mana aja. Biasanya bimbel online banyak ngasih latihan soal gratis, kamu bisa peroleh dari situ juga.
Semangat ya! Maaf baru sempat membalas. ^~^