Tuesday, July 23, 2019

#AkuInspirasiku: Cerita Sbmptn 2019 Anak Linjur (Yang Mungkin Belum Pernah Kamu Dengar)



Hubungan Internasional,
Sastra Inggris,
Ilmu Komunikasi,
Ilmu Ekonomi,
dan aku bukanlah mahasiswi pada salah satu prodi tersebut. Tapi, aku salah satu dari mereka yang pernah memperjuangkannya.  Seperti ribuan remaja di luar sana.

Apakah gagal? Bisa ya, bisa juga tidak.

Kalau kamu berekspektasi tentang kisah keberhasilan mendapatkan jurusan di perguruan tinggi sesuai keinginan, mungkin ceritaku tidak begitu memuaskan untukmu.

Mungkin, bagimu, kisah yang akan kuceritakan adalah kisah kegagalan. Tentu saja karena aku tidak berhasil mendapatkan apa yang aku impikan. Yang tempatnya pernah aku kunjungi, lalu foto-fotonya aku tempel di tembok kamar dan buku-buku pembelajaran. Yang aku sebut dalam tiap doa panjangku. Yang rasanya, aku sudah berjuang mati matian untuk meraihnya—orang-orang menyebutnya, ambis.

Namun, kisah ini boleh jadi cerita tentang keberhasilan. Aku serahkan padamu untuk melihat dari sudut pandang yang mana. Sebab, nyatanya semesta tetap bilang iya, meskipun yang lain.
yang dulu kupajang di halaman depan binderku
Well, aku anak IPA. Seperti judul postingan ini. Kamu mungkin akan menebak, lahan yang biasanya ‘direbut’ oleh anak-anak sepertiku adalah Fakultas Ekonomi.

“Kamu kan jago ngitung.”
“Kamu lebih teliti.”
“Kamu pinter Matematika.”

Begitu katanya. Padahal, tidak. Tidak semua. Lagipula, kemampuan menghitung dan ketelitian seharusnya universal, bukan?

Sedikit cerita, kelas MIPA 1-MIPA 3 di sekolahku mendapat pelajaran lintas minat Geografi, sedangkan kelas MIPA -MIPA 7 mendapat pelajaran Ekonomi. FYI, aku alumni kelas MIPA 3. Tidak pernah bersinggungan dengan kurva utilitas marginal, biaya produksi, ataupun sekadar mengetahui persamaan akuntansi. Kami berkutat dengan batuan, cuaca, sumber daya alam, dan sebagainya.

Jadi, aku bukan salah satu dari mereka yang ambisius menduduki salah satu bangku di Fakultas Ekonomi. Pada awalnya. Setiap orang bisa berubah bukan? Seperti diriku di pertengahan kelas 11. Ketika pelajaran Matematika Peminatan, Biologi, Fisika, dan Kimia menjadi momok menakutkan bagiku. Seolah hari-hariku di sekolah jadi horror kalau ada salah satu dari pelajaran itu. Padahal memang begitu….

Dan ya, aku jadi kurang bahagia dalam menjalankan sekolahku. Semangatku kian hari kian menurun, aku jadi berpikir bahwa pencapaian akademikku sudah tidak penting lagi. Yang penting, aku bisa melewati ulangan harian serta ulangan ulangan lainnya dengan baik. Satu lagi, jangan sampai menjadi 10 besar terbawah ranking di kelas. Selain mempermalukan diri sendiri, tentu saja aku tidak ingin membuat orangtuaku bersedih. Yah, meskipun orangtuaku tidak terlalu menjadikan ranking sebagai tolok ukur. Mereka paham bahwa pendidikan penting, namun tidak pernah menuntutku untuk menjadi juara satu.

Tapi jangan salah, saat kelas 10, aku masuk 10 besar ranking di kelas. Waktu itu aku masih menikmati peranku menjadi ‘anak IPA’ dan percaya bahwa bisa saja SNMPTN adalah takdirku, kalau bisa dapat jurusan di rumpun Soshum seperti cerita orang-orang. Kelas 10? Seambisius itu? Tidak sih, aku hanya mengakses informasi terlalu banyak ketika SMP. Terlalu banyak bermimpi yang kalau sekarang, aku bisa bilang…kejauhan.

Jujur saja, waktu itu aku masih menganggap jurusan IPA di SMA adalah jurusan yang bergengsi, keren, tempatnya orang-orang cerdas. Walaupun jauh dalam lubuk hatiku, sejak SMP aku ingin masuk kelas IPS, bahkan kalau bisa Bahasa. Alasan terkuatnya adalah, aku benci Matematika dan orang IPA hendaknya bisa menguasai Matematika. Selain, aku merasa lebih mudah belajar bahasa asing dan lebih senang mempelajari fenomena sosial.

Duduk di kelas 9, aku sudah membuat semacam life plan untuk beberapa tahun ke depan. Aku masih ingat, di sana aku menulis:

Hubungan Internasional
Sastra Inggris
Sastra Indonesia
Antropologi

Wah, memang gila. Ketika teman temanku yang lain sibuk mendebatkan frekuensi garpu tala untuk UN IPA SMP, bisa-bisanya aku mengajak mereka ngobrol tentang Antropologi (dan logi-logi yang lain, Arkeologi misalnya). Lalu mereka cuma mengangguk sekenanya, aku tahu mereka belum begitu tertarik pada pembicaraan jurusan kuliah waktu itu.

Makanya, teman teman SMP-ku itu agak terkejut dan heran ketika mengetahui aku masuk di kelas IPA.

“Katanya mau masuk HI? Kok malah masuk IPA sih?”
“Katanya Sasing, eh apa Sasindo?”
“Bukannya yang namanya susah itu ya? Yang ada logi-loginya tapi bukan Biologi.”

Begitu katanya. Dan bisa-bisanya aku dengan jumawa berkata,

“Anak IPA kan bisa ke mana-mana. Gampanglah, nanti tinggal lintas jurusan ke Soshum.”

Dengan gampangnya, aku mengatakan gampang. Dulu.

Sampai akhirnya, di pertengahan kelas 11 dimana otakku seperti tidak bisa lagi memahami logaritma dan turunan-turunannya, aku membuat keputusan. Mengabarkan pada kawan-kawan sekelasku, mencari teman. Siapa tahu ada yang tersesat juga sepertiku.

Adakah yang tersesat?

Tentu saja ada. Konsisten, ada 4 orang termasuk aku. Sampai kini kami resmi menjadi mahasiswa. Kami berempat itulah yang saling berbagi informasi, juga mimpi. Dua dari kami termasuk anak IPA linjur golongan mainstream, ingin merebut lahan di Fakultas Ekonomi khususnya Akuntansi. Satunya lagi suka corat-coret di sketchbook, ingin ke jurusan seni yang nggak seni-seni banget tapi pokoknya seni, sampai dibela-belain datang ke open house-nya di Jalan Ganesha 10 itu, berjarak 400 km dari kota kami.

halo, apa kabar almamaternya abang-abang Eduka? :)
rindu.
Lalu bagaimana denganku? Apakah masih sama seperti saat SMP dulu?

Ah, setelah berbagai dinamika dalam dua tahun SMA, di awal kelas 12 aku sudah mantap dengan jurusan yang aku tuju.

Hubungan Internasional.

law of attraction-ku
Terlalu tinggi? Selain kata Soekarno, kalau mimpi kita yang tinggi itu akan jatuh diantara bintang-bintang, aku punya beberapa alasan lain untuk tidak mengatakan mimpiku terlalu tinggi. Aku dulu ikut ekskul debat bahasa Inggris—yah,walaupun tidak lama, aku memang suka belajar bahasa asing—bahasa Inggris adalah salah satu yang dipelajari sejak TK kan? Katanya sih, bahasa Inggrisku bagus—meskipun tidak sebagus itu, dan aku ingin pergi ke negara yang orang-orangnya berbicara dengan bahasa Inggris.

Tidak kok, aku tidak ingin jadi diplomat. Aku sudah tahu kalau itu berat.

Pokoknya HI, kalau bisa di UGM. Bukan karena UGM adalah kampus favorit blablabla, tapi karena jarak rumahku ke UGM tidak sampai 10 km.

Kalau tidak bisa HI, apa pilihan keduanya? Aku tidak punya…. Yang aku mau setara dengan HI semua, sebut saja Sastra Inggris dan Ilmu Komunikasi, sempat terpikir Psikologi tapi hanya bertahan sebentar saja.

Waktu itu aku hanya ingin UGM. Impian masa kecilku. Tempat orang-orang yang jadi panutanku mengenyam ilmu. Yang selalu kuucapkan salam pada nabiku setiap melewatinya. Banyak yang hebat di sana. Aku hanya ingin menjadi salah satu bagiannya.

Maka, pilihan keduaku waktu itu, hanya kusebut, “Pokoknya di FIB.” Semua anak SMA juga tahu kalau jurusan jurusan di sana, kecuali Sastra Inggris dan Pariwisata, biasanya akan masuk di laman-laman web dengan judul “Jurusan Sepi Peminat di UGM Yang Bisa Jadi Pilihanmu”.  Padahal aku ingin ke FIB bukan cuma karena sepi peminatnya, tapi juga karena aku suka bagian sastra dan Antropologinya. Impian masa putih biruku.

“Kamu pasti bisa dapet HI, Lif.”
“Belajarmu udah segitu kok.”
“TO-mu selalu jauh di atasku.”
“Rehat lif, udah dulu ambisnya.”

Kalimat kalimat itu. Menenangkan tapi mematikan.

bullet journal 'khusus' agenda 'ambis'

Sampai tiba waktunya.

“Gimana UTBK 1-nya?”

Dan aku cuma bisa menanggapinya dengan tersenyum kecut.

Ah, UTBK. Sesuatu yang baru, bukan cuma untuk angkatanku saja. Kami mencari informasi sana-sini, sampai kadang lupa menyaring mana yang betulan mana yang bohongan. Kami terlalu antusias, juga takut. Yang seangkatan denganku takut ditolak pertama kali. Yang angkatan di atasku takut gagal lagi. Apalagi ini kelihatannya sangat berbeda dari yang sebelumnya.

Ya sistemnya, soalnya, penilaiannya, dll. Yang jadi highlight-nya, semua berbasis komputer. Tidak ada lagi membulati LJK dengan pensil 2B yang harus lolos scan komputer.

Aku ingat pada euforia menjelang UTBK itu, TO online tiba tiba menjamur.  Dulu, event TO online cuma bisa dihitung jari—toh peminatnya juga tidak banyak meskipun tahun lalu sudah ada SBMPTN yang memakai android, sementara di tahunku…kamu tinggal pilih mau yang mana. Yang bayar banyak, yang gratis apalagi. Paling paling syaratnya hanya mengunggah twibbon dan membagikannya di Instagram. Sama sekali praktis dan efektif.

Salah satu nama yang bagiku—pasti bagimu juga—termasuk unicorn education startup di Instagram adalah Eduka System. Dari pagi sampai pagi lagi, Story dan timeline di Instagramku penuh dengan tangkapan layar TO online dari Eduka itu. Awalnya aku sangsi dan menganggap itu sebagai spam. Bayangkan saja, hampir seluruh teman seangkatanku mengikuti akun itu dan tidak sedikit dari mereka yang rela merogoh kocek untuk ikut TO online nya.

yaa...'cuma' 100-an temen sih :))
Pikirku waktu itu, aku sudah ikut bimbel online yang juga sudah menyediakan fasilitas TO online, gratis malah, kenapa aku harus ikut yang Eduka-Eduka itu? Siapa mereka memangnya? Nama bimbel bukan, akun info info kuliah pun tidak.

Justru Twitter-lah yang pertama kali menarik simpatiku dengan Eduka. Dari akun education confess, mereka bilang kalau model soal di Eduka mirip sekali dengan soal UTBK. Sudah paham mengenai istilah no pict hoax, di sana mereka juga menyertakan bukti tangkapan layar dari website TO online Eduka itu. Kutelusuri dengan cermat, kubaca review-review-nya, hingga akhirnya aku memilih untuk membuktikannya sendiri.

Bagai gayung bersambut, Eduka juga menyelenggarakan TO online yang gratis ketika aku akan menge-stalk akunnya. Lagi-lagi aku sedikit ragu, apakah TO Eduka ini akan menganggu jadwal belajarku? UTBK 2 sebentar lagi, materi masih harus diperdalami, latihan soal apalagi. Sementara, mengerjakan TO tidak cukup 1-2 jam.

Sudah terlanjur penasaran, akhirnya aku ikut juga. Mengunggah syarat yang diperlukan dan voila, laman yang didominasi warna coklat itu menampilkan laman yang…it’s not 100% look alike, cause they don’t duplicate it. Tapi betulan mirip, bukan hanya tampilan webnya, tapi yang lebih penting: soal-soalnya. Lebih kerennya lagi—dan langsung membuatku berkata, “Okay, it is the one.”—ada fitur ranking, pembobotan nilai, dan pembahasan, yang jelas dibutuhkan semua pejuang UTBK di Indonesia. Yang paling penting, kita nggak bakal bingung dalam melakukan semua itu karena Eduka pun sudah menyediakan tutorialnyaBahkan kita bisa lihat posisi kita di prodi dan universitas impian. Kita bisa lihat saingan-saingan kita!

ini tampilan yang lumayan mirip sama waktu UTBK
nilainya sengaja disensor hehehe
ada pembobotan nilai, alias IRT=sistem penilaian UTBK
selengkap itu juga pemeringkatannya....

Sejak saat itupun aku langsung merasa berdosa sudah menilai Eduka tanpa merasakan manfaatnya terlebih dahulu, dan tentu saja, AKU MERASA SANGAT TELAT MENGENAL EDUKA!

Apalagi setelah mendapati beberapa temanku dengan nilai UTBK 600++ dan kata mereka, “Aku cume belajar lewat Eduka.” Like, seriously?!?

Padahal, harga TO Eduka nggak mahal. Padahal, waktu yang disisihkan untuk TO, apapun itu, pasti akan menghasilkan sesuatu yang baik juga ke depannya. Padahal, padahal….

Sebelum menyesal lebih dalam, aku semakin giat mempelajari pembahasan dari Eduka karena rankingku juga belum bagus-bagus amat. Waktu itu ada passing grade-nya juga, aku masih kurang beberapa poin untuk mencapai HI UGM [tentu saja bukan PG resmi dari universitas karena yang buat biasanya cuma bimbel-bimbel]. Apalagi UTBK 2 tinggal menghitung hari dan masih ada beberapa materi Ekonomi yang belum selesai dipelajari [percayalah, linjur memang, hmm, seberat itu, apalagi aku tidak suka Matematika, sementara Ekonomi berhubungan dengan yang satu itu—tapi pada akhirnya aku jadi suka!].

Lalu, kalau nilai UTBK 1 masih jauh dari harapan,

“Bagaimana dengan UTBK 2?”

Ah, kali ini aku bisa menarik napas lega. Semua nilaiku naik, terutama Ekonomi. Di UTBK 1, Ekonomiku jadi yang terendah karena pada waktu itu aku memang baru mempelajari sedikit. Makanya, aku balas dendam khusus untuk Ekonomi di UTBK 2. Selain dari Eduka, aku juga menghabiskan hampir semua soal SIMAK UI Ekonomi dari Zenius.

Waktu itu, aku benar-benar menghayati apa yang disebut “hasil tak akan mengkhianati usaha”. Rerata nilaiku 600+. Ekonomi 78x. Matematika Soshum yang…mungkin yang benar benar aku kerjakan hanya 1 soal…600+.

Tapi, aku tahu.

Dengan nilai segitu aku nggak bisa masuk HI.

Tanpa orang-orang bilang bahwa ‘nilai aman’ HI UGM adalah 700+, aku sudah bisa membaca peluangku dari hasil rekapitulasi yang dikeluarkan LTMPT. Yang nilainya sepertiku itu banyak…yang menginginkan HI UGM dan nilainya lebih tinggi dariku juga banyak….

SBMPTN tahun ini memang se-transparan itu, orang-orang jadi tahu diri dalam memilih jurusan dan perguruan tinggi. Apalagi dengan adanya jasa rasionalisasi, di mana mana. Lagi-lagi, dari yang gratis sampai yang berbayar. Yang buka jasa konsultasi seolah dia panitia LTMPT, yang sampai dibikin akun parodi, yang akhirnya aku menemukan Eduka lagi.

santuy, ini parodinya :))
ini yang Eduka
suka sedih baca kesimpulannya :" PS: tangkapan layar rasionalisasi Eduka ini dari hpnya temenku, shout out to Cindy!
Kali ini, rasionalisasi Eduka. Sudah tidak ada kata ragu lagi untuk ikut. Aku sudah membuktikan sendiri di TO-nya meskipun hanya sekali. Apalagi, Eduka mengunggah beberapa video di Youtube yang semakin meyakinkanku. Setelah mengunggah syarat seperti biasa, aku dihadapkan laman untuk memilih jurusan.


isi channel Youtube Eduka

Ah, jurusan. Idealisku menghilang sejak nilai UTBK keluar.

“Apakah HI di matamu juga menang gengsi seperti saat kamu masuk IPA di SMA?”

Tanya jawab dengan diriku sendiri, membicarakannya dengan orangtua meskipun yaa, kadang harus ada sedikit air mata, lalu berdoa. Sudah mantap. HI mungkin bukan gengsi, tapi terlalu bergengsi, hahaha…. Secepat itu idealisku meluntur. Manusia memang cepat sadar ya, kalau ditampar kenyataan?

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk memasukkan jurusan yang sama saat rasionalisasi Eduka dan SBMPTN, nekat tapi rasional, rasional tapi nekat.  Kenapa? Karena aku sudah yakin [bekal yakin untuk pilihan 1: nilai Ekonomiku—betulan nekat kalau ini] dan posisiku memang aman [di pilihan keduaku, rasional]. Keduanya UGM.

“Jadi HI, Lif?”

Nggaklah, bambang.

Keputusanku sudah bulat kala itu. Di SBMPTN aku memilih membuang mimpiku: HI UGM; bagaimanapun juga aku sudah berjuang untuk nilai UTBK ku, berapapun itu. Perjuangan belajar lintas jurusan hanya dengan bimbingan belajar online, TO-TO mandiri-offline-online, menyeimbangkan waktu antara belajar Saintek [untuk di kelas, dan tentu saja UN] dan Soshum, tetap terjaga dari pagi sampai pagi lagi, mengontrol diri sendiri, belajar manajemen waktu, serta berbagai pelajaran lainnya yang mungkin tidak akan kudapatkan secara formal di sekolah.

Baru di Ujian Tulis UGM, aku mengerahkan seluruh kemampuanku. Aku memilih HI di pilihan pertama, sesuai impianku. Aku akan lebih giat belajar. Kebetulan, Eduka juga sedang mengadakan promo untuk beberapa TO dengan harga miring. Aku boleh saja gagal di SBMPTN, tapi tidak akan kubiarkan UTUL UGM yang legendaris itu menolakku.

UTUL yang kembali jadi penampung harapan....
Jiwa ambisiusku kembali muncul setelah lebaran, bahkan aku tidak terlalu memusingkan pendaftaran SBMPTN karena aku sudah antusias untuk belajar lagi demi UTUL. Aku merasa sudah siap apapun hasilnya nanti.

Ritme belajarku kembali terulang. Menjadi kelelawar. Membabat habis soal SIMAK UI yang belum sempat diselesaikan dari sore hingga tengah malam menjelang pagi. Pagi dan siangnya aku gunakan untuk istirahat. Aku juga membaca ulang materi-materi yang aku sudah agak lupa. Jarak antara pengumuman nilai UTBK 2 gelombang terakhir dengan pendaftarannya cukup lama, aku tidak banyak menghabiskan waktu untuk belajar saat itu.

Semua kujalani dengan lebih santai. Meskipun lebih ke pesimis, aku juga menyimpan sedikit harapan untuk lolos SBMPTN. Masa sih, usahaku yang sudah sebegitunya tidak bernilai apa-apa? Iya, aku paham kok ada banyak sekali jalur masuk perguruan tinggi. Tapi ini SBMPTN lho, yang sudah aku perjuangkan bahkan ketika kelas 11. Tapi, ya sudahlah. Aku berada di titik kepasrahanku.

Yang aku percaya, jawaban doa tidak pernah tidak.

1.                   Iya, Sayang.
2.                   Iya, yang lain.
3.                   Iya, nanti.

**

Hingga tanggal 9 Juli itu tiba juga.

Setelah salat Ashar, ibuku sudah heboh menyuruhku untuk segera membuka pengumuman. Ibu bahkan menyangka aku sudah mengetahui hasilnya karena sejak pagi aku tenang tenang saja. Aku lalu berkata bahwa semalam aku sudah mendengar video-video Cak Nun tentang keikhlasan, makanya aku jadi tenang. Katanya, Tuhan akan berkata iya kalau kita sudah ikhlas pada yang tidak itu.

 Maka dari itu, ketika aku menunggu laman pengumuman sedang memuat, aku sama sekali tida deg-deg-an. Teman-teman bercerita padaku kalau mereka bahkan sudah berdebar sejak semalam. Aku? Bahkan ketika akhirnya pengumuman itu muncul, detak jantungku masih normal seperti biasa.

Sambil tengkurap di kasur kamar, aku menggulir laman perlahan.

Selamat!

Oh, Alhamdulillah. Lega. Akhirnya aku dapat UGM! Impian masa kecilku.

Universitas Gadjah Mada

Iya, aku memasukkan di UGM semua.

Bahasa dan Sastra Indonesia

Ah, ya. Sudah kuduga. Posisiku memang lumayan aman di Eduka untuk prodi ini. Alhamdulillah.



Tidak ada air mata bahagia kecuali dari ibu yang langsung memelukku. Aku senang…tapi, ya senang saja. Beban berat yang lama dipikul terasa hilang, tapi…hampa. Entahlah, mungkin aku yang waktu itu kurang bersyukur. Keluargaku lebih heboh menanggapi kelulusanku.

Aku menangis sehari setelahnya. Ketika menyadari bahwa mimpiku di HI benar-benar terbuang. Aku tidak berniat mengambil gapyear setelah berdiskusi dengan orangtua atau merantau ke luar Jogja (lihat kan, foto pertama? Aku sempat bucin UI dan ITB, sudah berencana mengikuti SIMAK UI dan USM ITB, namun orangtuaku lebih senang kalau aku tetap di Jogja.)

pemandangan di depan meja belajar mantan bucin Top 3 Campus
Bahwa ketika sudah diterima di UGM melalui satu jalur, maka tidak akan diterima di jalur lainnya. Aku sudah lolos SBMPTN, maka UTUL-ku hangus. Aku tidak boleh serakah. Aku boleh sedih…tapi, yang lebih sedih dariku pasti lebih banyak. Yang menginginkan posisiku? Pasti ada walaupun tidak pasti jumlahnya berapa.

Sungguh, awalnya sulit untuk menerima kenyataan diterima di pilihan kedua. Aku suka sastra, tidak mungkin aku mengambil itu sebagai pilihanku kalau hanya untuk coba-coba...tapi, tapi.... Mungkin kamu pernah merasakannya. Apalagi ketika teman seangkatan beda kelas yang juga linjur diterima di Hukum UGM dengan selisih rerata nilai yang tidak jauh. Setelah mendengar bahwa, “coba kalau kamu lebih nekat sedikit.” Ucapan-ucapan tentang strategi jurusan. Yang kalau didengarkan semakin membawa diri dalam penyesalan.

Sampai akhirnya, orang orang datang padaku.

Mengucapkan selamat.

Teman SMP: Kamu emang cocok banget di Sastra Indonesia. Pas SMP seneng nulis kan. Selamat ya, akhirnya impianmu tercapai. Aku tunggu novelmu.

Saat itu aku bahkan sudah lupa bahwa itu adalah impianku.

Teman blog saat SD: 

Dia mungkin tidak tahu, aku tidak sekonsisten itu....
temen sekelasku, jangan tanya kenapa aku menyebutnya senja kopi puisi :))
Guru SD: Mbak Alif memang sudah terlihat bakat menulisnya sejak SD. Senang mendengar kabar kalau akhirnya diterima di Sastra Indonesia UGM. Terus berkarya ya, Mbak.

Kali ini aku menangis.

Anak Sastra. Apakah yang ini jalannya? 

Kadang aku merasa sebutan itu terlalu berat untuk disematkan padaku. Aku sengaja tidak menceritakan di bagian awal kalau aku senang membaca dan menulis sejak SD, bahkan Bahasa Indonesia selalu jadi pelajaran favoritku. Pernah mengikuti beberapa lomba kepenulisan. Pernah beberapa kali dimuat di majalah. Kalau majalah sekolah memang selalu ikut jadi tim redaksi di SMA, namanya jurnalistik. Di jurnalistik SMA itu juga pernah kerjasama dengan koran lokal. Ada buku antologi puisi dan cerpen, tapi cuma diterbitkan tingkat sekolah. Yang terakhir sih, ikut meliput untuk tabloid di Dikpora.

tim jurnalistik bersandingan dengan mimpi-mimpiku lol
Namun sampai sekarang, aku masih merasa belum layak. Sebab aku paham, anak sastra itu, kalau tulisannya bagus, “Ya jelaslah, dia kan anak sastra.” sedangkan kalau tulisannya jelek, “Gimana sih, katanya anak sastra?” Ya, begitulah. Setiap jurusan pasti punya ciri khasnya masing-masing.

Tulisan ini juga nggak bagus-bagus amat. Jadi, maklumi saja ya? Toh, rasanya belum pantas saja menyandang status sebagai mahasiswa sastra karena kuliah pun belum dimulai. : )

Aku tak hendak memberi pesan untuk kamu, karena aku sadar diri, aku ini siapa sih diantara jagat pejuang SBMPTN yang berhasil? Sudah jurusan underrated pula di mata banyak orang. Kalau mencari kisah-kisah yang berhasil, mungkin yang ada di blog Eduka ini bisa menjadi salah satu pilihanmu. Kisah-kisah yang sekarang...hmm, rasanya aku sudah kenyang membaca motivasi-motivasi itu.

Aku cuma mau pesen sama diriku sendiri, siapa tahu besok lupa.

Dear Alif,

Gagal atau tidak tergantung bagaimana pola pikirmu tentang kegagalan. Kamu sudah menang, melawan dirimu sendiri. Siapa tahu memang jalanmu di sini?

Terima kasih ya, sudah berjuang.

Terima kasih sudah bertahan sampai sejauh ini.


Kamu yang sudah membaca sampai sejauh ini, aku ucapkan terima kasih banyak juga padamu. Semoga harimu baik. Kalau sedang berjuang, semoga kamu dapat yang terbaik, di waktu yang paling baik pula. Kamu dan perjuanganmu tidak pernah sia-sia! <3


ya, libatkan Tuhan di seluruh kehidupanmu. aku tidak perlu menyuruh kalian yang muslim untuk melaksanakan yang wajib tepat waktu dan menambah yang sunnah setelahnya, bukan?
Satu lagi, yang terakhir.


kamu pasti paham apa artinya

PS
- tulisannya panjang karena sedang ingin menyembuhkan diri sendiri
- beberapa direct link mengarah ke tumblr-ku, siapa tahu kamu berminat membaca
- videonya bagus, kalau ada waktu luang silakan diputar, mungkin bisa menambah sudut pandangmu tentang kegagalan
- mau ngucapin terima kasih sekali lagi sama Eduka, rasionalisasinya memang akurat. Bukan cuma di aku, tapi juga teman-temanku, bahkan kakak kelasku yang mengambil gap year. Doa dan harapan terbaik untuk semua orang dibalik besarnya nama Eduka!
- doakan aku bisa survived ya....

17 comments:

  1. hey hey haiii. sudah lama aku nggak ketemu kamu kan kaklif (secara maya maksudnya). sebenernya sudah lama aku lihat postingan ini mentereng di daftar bacaan beranda blogger-ku. tapi aku enggak berani buka karena aku tipe-tipe pelajar tahun terakhir yang alergi dengan kenyataan karena tau betul akan berakhir pahit. tapi karena besok senin bakal ada pembagian angket peminatan UAN, aku langsung merinding disko dan segera membuka postingan kakak wkwk--berharap, bisa ambil refrensi.
    sebelumnya, selamat ya! akhirnya jadi mahasiswi UGM! pasti udah nggak ndredeg ya sekarang, berbanding terbalik denganku yang jadi ndredeg seratus persen selesai baca postinganmu. well, kakak pasti sibuk sekarang yeah. aku nggak berharap banyak kalau kakak bakal reply komentarku ini ASAP.
    tapi suer kak, i need 'pencerahan'. aku salah satu siswa yang masuk IPA, karena mindset 'ah, anak IPA bisa melipir kemana-mana'. padahal aku benci kimia sedalam-dalamnya. sejak aku kelas 11. aku nggak menggantungkan mimpi kemana-mana. aku bahkan menyerah pada snmptn dan mulai memikirkan sbmptn. mimpiku ke DKV ISI, kuhanguskan. biarlah aku masuk ke pertanian UB, biar aku nggak usah belajar 'urusan' orang nanti buat UTBK-nya. tapi aku takutt banget, aku bakal nggak cocok disana, karena dari dulu aku paling alergi sama hal-hal yang berbau 'tanaman'. mereka biasanya suka mati kalau kusentuh, mana bisa aku nanti membantu petani menyuburkan komoditi mereka kalau begini :(
    dalam hati, memilih sastra inggris pasti jauh lebih gampang. soalnya aku paling enteng kalau soal yang satu itu. hanya saja kata orang-orang kalau mau ambil sastra inggris UTBK-nya harus pakai punya anak jurusan sebelah. aku jadi bingung setengah mati.
    nah, karena kakak adalah anak IPA yang melipir ke SASINDO, aku mau tanya. kakak UTBK-nya pakai jurusan anak sebelah, kah? terus, UN kakak milih apa?

    padahal cuma mau nanya itu tapi curhatnya sampai tiga paragraf hehe. thanks ya kak atas pengalamanya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Dza!

      Kebetulan banget aku buka blog jadi bisa balas ASAP hehe. Btw, selamat menjadi siswa tingkat akhir ya! Kalau mau curhat boleh lho dm aku ntar biar bisa disambung ke WA, karena dulu waktu galau jurusan kelas 12 aku juga banyak curhat sama kakel yg kurasa paham masalahku karena sama-sama lintas jurusan :)

      Jadi, menjawab pertanyaanmu:

      1) Aku UTBK-nya tentu saja pakai jurusan anak sebelah karena dari awal sudah kujelaskan kan, kalau aku lintas dari IPA a.k.a. Saintek ke IPS a.k.a. Soshum?

      2) Aku memilih Biologi di UN, yah u know yang paling sedikit Matematika-nya, lol. Supaya bisa lebih gampang survive awalnya, padahal mah sama aja semua butuh diperjuangkan. :)

      Btw aku kemarin juga mau daftar Sasing lho, tapi keburu nekat ke Ilmu Ekonomi gara-gara kepedean dengan nilai Eko yang tinggi padahal nggak terlalu ngaruh sepertinya wkwkwk.

      Terima kasih kembali ya, sudah mengapresiasi tulisanku, semoga sukses di kelas 12-nya!!

      Delete
  2. Saya setuju pendapatmu, tuhan pasti akan selalu jawab "ya" setiap doa.
    Dan kamu berhasil membuktikannya dengan mndpt jawaban "Ya, tapi ini lebih pantas dan lebih baik bagimu. " . Btw selamat, Lif. Salam kenal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, terima kasih sudah juga sudah membaca. :)

      Hehe emang rencanaNya pasti lebih baik. Salam kenal juga ya, Imra!

      Delete
  3. Zulfan Ardian FahriAugust 05, 2019

    Selamat atas perjuangan linjur mu lif, bahagia menjadi salah satu manusia yg menyaksikan kerja kerasmu, sejarah pengalamannu menjadi siswa tingkat akhir memang layak untuk contoh bagi siswa" tersesat di persimpangan jurusan SMA :v, semangat menikmati kopi senja bersama lagu lagu indie �� salam dari kota dingin selain bandung wkwkw, goodluck and see you next time.

    ReplyDelete
    Replies
    1. WKWKW tengs :v

      saya tetep belum layak dijadikan contoh, masih harus banyak belajar :v selamat menyinari tubuh manusia dengan sinar X :v

      see youu

      Delete
  4. kak, aku linjur 2020, butuh temen ngomong, akun ig kaka apa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, ada di widget dan menu bar ya hehehe.

      Delete
  5. sebenernya aku udah baca ini dari lama, tapi, baru gak tau baru mau ninggalin komentar sekarang karena baca lagi hehe. ternyata, kita sama-sama pejuang linjur kak. alhamdulillah aku angkatan 2020 udah keterima juga sekarang. baca tulisan kakak ini bener-bener terharu dan seneng karena kakak bisa punya cerita perjuangan yang luar biasa itu. pasti nggak mudah :)

    kalo aku baca, kakak dapet PTN yang kakak impikan sejak lama, tapi, bukan jurusannya. nah, kalo aku sebaliknya, justru malah dapet jurusan yang aku impikan, tapi, PTN nya iseng aja masukin, gak taunya keterima, bener-bener di luar dugaanku hahah.

    mau cerita juga sih, aku masuk kuota SNM kemarin. sebagai pejuang linjur, jujur gatau mau tetep bundir atau milih jurusan saintek. akhirnya, aku memutuskan untuk bundir aja seenggaknya udah nyoba wkwk. aslinya, pengen banget masukin UGM, kak, kayak udah impian dari dulu, dari kecil, tapi, aku terlalu takut karena track sekolahku yang gak memungkinkan dan emang semakin bundir kalo masukin UGM. yah, bukan sekolah favorit kota jogja, sih, cuma depan gacoan WKWKWK (mungkin kakak tau:D ) so, finally here i am. nggak pernah menduga keterima SNMPTN padahal linjur:)) alhamdulillah udah keterima di Manajemen UNY sekarang.

    sukses kuliahnya ya, kak! terus menginpirasi<3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haloo Muti, selamat dan semangat jadi mahasiswa baru ya!

      Aku ikut senang baca kisahmu. Jadi pengingat lagi juga buatku kalau kita emang nggak pernah sendirian dalam berjuang, salah satunya berjuang linjur WKWKW. Alhamdulillah ya, walau kita sesama nggak dapet "yang-itu-pokoknya" tetapi semoga yang kita dapat sekarang adalah yang palinggg terbaik, aamiin. Seni menerima itu ternyata belajarnya seumur hidup :D

      Terima kasih sudah baca ceritaku ini dan aku doakan yang terbaik juga buatmu! Sukses PKKMB, KRS-an, dll. hehehe xoxo.

      Delete
  6. Hai, tak terasa satu tahun telah berlalu tanpa kita sadari. Menyadarkan kita bahwa waktu berlalu begitu cepat. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyelebrasikan hari kemenanganmu melawan egomu dan mengikhlaskan hal yang lalu demi yang baru. Kita tidak pernah tahu kemana Yang Maha Esa akan menggiring kita, karena hidup tidak ada yang tahu kecuali Dia. Have a nice day.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, siapapun kamu terima kasih ya atas apresiasinya. Mari kita selebrasikan bersama kalau kamu juga mengalami yang seperti ini juga. Semoga kita sama-sama bisa selalu menerima.

      Have a nice day too. :)

      Delete
  7. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  8. Halo kak, aku beneran terinspirasi sama tulisan kakak, kalau boleh tau ig kakak apa ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halooo, ada di samping kanan postingan ini nih, di sidebar: icon Instagram :)

      Delete
  9. Hai kak, aku juga anak IPA skrng kelas 12 niatnya mau linjur soshum, ambil PBSI ... Kak aku mau minta tips belajar TKA soshum nya :) soalnya aku masih bingung banget mau mulai darimana, tahun depan juga gatau TPS aja atau TPS dan TKA .. makasih semoga dibales 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Tara, terima kasih ya sudah membaca!

      Jujur aku sudah nggak banyak mengikuti info-info UTBK, tapi saranku kamu bisa sering-sering latihan soal, dari mana aja. Biasanya bimbel online banyak ngasih latihan soal gratis, kamu bisa peroleh dari situ juga.

      Semangat ya! Maaf baru sempat membalas. ^~^

      Delete

Just write your thoughts.