Sebagai orang yang lahir
dan besar di Jogja, sebetulnya saya jarang bersinggungan dengan orang-orang
Sunda. Pengalaman berinteraksi langsung dengan mereka dimulai ketika saya
melakukan perjalanan ke Bandung, namun itu hanya berlangsung sebentar. Interaksi
yang lebih lama terjadi sejak saya kuliah dan bertemu mahasiswa dari berbagai
daerah, mulai masa orientasi hingga masuk ke dalam kelas.
Rupanya, ada beberapa
mahasiswa di kelas saya yang berasal dari Sunda. Ada sekitar lima orang yang
terdiri atas lelaki dan perempuan dari daerah Banjar, Tasikmalaya, Subang, hingga
Banten. Pada mulanya, hal pertama yang menarik perhatian saya adalah nada
bicara dan dialek mereka yang Sunda banget. Saya biasa menemui
percakapan dengan sisipan “teh” dan “atuh” hanya melalui novel,
film, atau tayangan televisi.
Ternyata, ada hal lain
lagi yang masih Sunda banget yang luput saya perhatikan dan baru saya
temukan ketika kelas Bahasa Inggris. Ya, saya mendengar salah satu mahasiswa dari
Sunda mengucap kata fashion menjadi passion. Kemudian saya
teringat, sepertinya mereka sering melafalkan fonem atau bunyi /f/ menjadi /p/,
misalnya faperta menjadi paferta atau bahkan paperta. Apalagi
ketika akronim faperta tersebut diuraikan menjadi fakultas pertanian.
Dalam beberapa waktu, mereka terlihat kesal kalau teman-teman kami berlebihan menjadikan
itu sebagai sebuah lelucon; mengetes orang Sunda melafalkan kata-kata berfonem /f/
dan /v/. Namun, bagaimanapun juga, candaan itu hanya sebagai salah satu cara bonding
kami sebagai mahasiswa baru.
Dari situ, tergeraklah
saya untuk mencari tahu hubungan orang Sunda dan huruf ‘f’. Oh…di situlah saya
menemukan berbagai meme yang menggelitik. Gambar yang juga diunggah oleh
dosen saya ketika kuliah daring dalam pembahasan topik pemengaruhan bunyi. Melalui
gambar itu, kita berhadapan dengan sistem bunyi yang tidak selaras dengan
sistem tulisan. Menurut buku Fonetik karya Marsono, pemengaruhan bunyi
disebabkan oleh dua hal, yaitu proses asimilasi dan artikulasi penyerta. Yang
terjadi di sini adalah proses asimilasi, yaitu pengaruh-mempengaruhi bunyi
tanpa mengubah identitas fonem.
Kata fanta yang
diucapkan sebagai panta atau virus menjadi pirus menunjukkan
terjadinya suatu perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi sama
atau hampir sama. Dalam konteks tersebut, terjadi perubahan fonem /f/ menjadi /p/
yang memang tidak mempengaruhi makna, tetapi berkemungkinan menganggu proses
komunikasi apabila dilakukan dengan orang-orang baru dari penutur bahasa yang
berbeda.
kompasiana.com |
Sebetulnya, jawabannya bisa sangat sederhana: struktur fonologis bahasa Sunda tidak mengenal fonem atau bunyi /f/.Akan tetapi, bila ditelusuri lebih jauh lagi, bunyi /f/ bukanlah fonem asli bahasa Indonesia atau disebut sebagai bahasa Melayu kala itu, sehingga fonem /f/ merupakan fonem pinjaman. Sedangkan, fonem /p/ merupakan fonem asli bahasa Indonesia. Pembahasan ini berkaitan dengan kajian sejarah dimana pada zaman kerajaan, termasuk pada aksara Sunda yang ditulis dalam prasasti atau lontar tidak memiliki fonem /f/ dan /v/. Fonem-fonem seperti /f/, /v/, /z/, dan /sh/ diperkenalkan oleh pedagang dari Arab ketika menyebarkan agama Islam.
Pendapat lain mengatakan,
ketidakmampuan orang Sunda melafalkan beberapa konsonan berkaitan dengan pikiran
arkeologis. Tradisi pelafalan /p/ yang mengendap dalam alam pikiran orang
Sunda sejak ratusan tahun lalu menjadikan hal itu sebagai sesuatu yang wajar. Pikiran
arkeologis ini dikemukakan oleh pengamat kebudayaan Sunda, Jakob Sumardjo. Namun,
aspek ini tidak akan saya bahas lebih lanjut karena bukan merupakan ranah
fonologi.
Pada intinya, orang Sunda
zaman sekarang telah mengenyam pendidikan modern dan mampu mengucap /f/, hanya
saja dalam posisi yang salah karena persepsi terhadap fonem /f/ masih sama
dengan /p/ seperti dalam kasus pengucapan kata faperta. Lagipula,
pengucapan /p/ untuk /f/ tidak mengubah arti dalam bahasa Sunda.
Batasan fonologi seperti yang
ditemukan dalam kasus orang Sunda tidak bisa membedakan /p/ dan /f/ merupakan
sesuatu yang lumrah dan ada di setiap biasa. Hal itu justru dapat dipandang
sebagai keunikan dalam keberagaman berbahasa, seperti orang mBantul (seperti
saya) yang tidak bisa masuk ITB karena mereka hanya mengenal ITM, Institut
Teknologi Mbandung.
itb.ac.id |
Daftar
Pustaka
Hadi, S., Soeratno, S. C., Ramlan, M., & Wijana, I. D. P. (2003). PERUBAHAN FONOLOGIS KATA-KATA SERAPAN DARI BAHASA ARAB DALAM BAHASA INDONESIA. Jurnal Humaniora, 15, pp. 121-132.
Fauziyah, A., & Mulyaningsih, I. (2016). PERUBAHAN BUNYI PADA TUTURAN RESMI YANG DIGUNAKAN MAHASISWA IAIN SYEKH NURJATI CIREBON. Indonesian Language Education and Literature, 2(1), 50-59.
Fitriandi, A. 2018. CIA Catatan Insinyur Angus dari ITB. Bandung: ITB Press.
Marsono. 2018. Fonetik. Cet. ke-9. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sumber Gambar
(1) berkuliah.com
wkwkwkwkwk pakta! makasih dah share postingan berpaedah ini, Alip!
ReplyDeleteHehehe semoga beneran berfaedah yaa, Sel. Senang bisa berbagi!
Deleteuntukku yg rantau mendekati sesundaan akhirnya penasaranku terjawab wkwkwk, thanks lho lip (aku mBantul tapi emang enak pake p buat gantiin f wkwk)
ReplyDeletePurwokerto fellas~
DeleteMemang seperti orang Jawa pada umumnya, utamanya yang lanjut usia xixixi.